Latar Belakang
Konversi Lahan Adalah – Pengertian, Dampak, Alasan & Contohnya – Menurut Purwowidodo (1983) lahan mempunyai pengertian, yaitu suatu lingkungan fisik yang mencakup iklim, relief tanah, hidrologi, dan tumbuhan yang sampai pada batas tertentu akan mempengaruhi kemampuan penggunaan lahan. Sedangkan, sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena diperlukan dalam setiap kegiatan manusia, seperti untuk pertanian, daerah industri, daerah pemukiman, jalan untuk transportasi, daerah rekreasi atau daerah-daerah yang dipelihara kondisi alamnya untuk tujuan ilmiah.
Lahan pertanian memiliki fungsi yang besar bagi kemanusiaan melalui fungsi gandanya (multifunctionality). Selain berfungsi sebagai penghasil produk pertanian (tangible products) yang dapat dikonsumsi dan dijual, pertanian memiliki fungsi lain yang berupa intangible products, antara lain mitigasi banjir, pengendali erosi, pemelihara pasokan air tanah, penambat gas karbon atau gas rumah kaca, penyegar udara, pendaur ulang sampah organik, dan pemelihara keanekaragaman hayati (Agus dan Husen 2004). Fungsi sosial-ekonomi dan budaya pertanian juga sangat besar, seperti penyedia lapangan kerja dan ketahanan pangan.
Eom dan Kang (2001) dalam Agus dan Husen (2004) mengidentifikasi 30 jenis fungsi pertanian di Korea Selatan. Saat ini, jumlah luasan lahan pertanian tiap tahunnya terus mengalami gangguan. Berkurangnya jumlah lahan pertanian ini merupakan akibat dari adanya peningkatan jumlah dan aktivitas penduduk serta aktivitas pembangunan (Pasandaran 2006). Kondisi ini mengakibatkan permintaan akan lahan pun meningkat. Sehingga terjadi perubahan penggunaan lahan atau yang dikenal dengan konversi lahan.
Konversi lahan dapat diartikan sebagai perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri (Utomo et al 1992). Penggunaan sumberdaya lahan akan mengarah kepada penggunaan yang secara ekonomi lebih menguntungkan yaitu ke arah penggunaan yang memberikan penerimaan keuntungan ekonomi yang paling tinggi. Penggunaan lahan untuk sawah merupakan salah satu penggunaan lahan yang mempunyai nilai land rent rendah dibandingkan dengan penggunaan lain. Hal tersebut menjadi salah satu alasan banyak terjadinya konversi lahan sawah ke penggunaan lain. Menurut Panuju (2004), rata-rata di seluruh wilayah di Jabodetabek pertumbuhan sektor pertanian terus mengalami penurunan.
Permasalahan
Konversi lahan di Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Luas lahan pertanian sawah di Indonesia tercatat sekitar 8,9 juta hektar, sekitar 187.720 hektar telah beralih fungsi ke penggunaan lain setiap tahunnya (Badan Pertanahan Nasional 2004). Konversi dapat menjadi persoalan serius pada masa mendatang bila tidak dapat ditangani dengan baik. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk setiap tahun sementara luas wilayah yang cenderung tetap dapat meyebabkan meningkatnya nilai ekonomis akan lahan. Seiring dengan perkembangan ekonomi, tingkat kebutuhan akan semakin meningkat. Keterdesakan dalam pemenuhan kebutuhan yang terus meningkat menyebabkan masyarakat memikirkan strategi baru dalam pemenuhan kebutuhan. Salah satu daerah yang banyak mengalami konversi lahan, yaitu kota Bogor, khususnya daerah Puncak, Cisarua, jawa Barat.
Kota Bogor merupakan salah satu kota di Jawa Barat yang memiliki posisi strategis sebagai kawasan yang menghubungkan antara kota Jakarta dengan kota Bandung. Letaknya yang berada diantara 106°43’30”BT – 106°51’00”BT dan 30’30”LS – 6°41’00”LS serta mempunyai ketinggian rata-rata minimal 190 meter sampai 330 meter di atas permukaan laut menjadikan kota Bogor sebagai kota yang sejuk dengan suhu udara rata-rata 26 °C dan kelembaban udaranya kurang lebih 70%.
Letaknya yang strategis serta ditunjang kondisi sumber daya alam yang cukup melimpah menjadikan kota Bogor berpotensi sebagai komoditas ekonomi. Kekayaan panorama alam yang indah yang tersebar di beberapa titik menjadikan Bogor sebagai salah satu kawasan tujuan para wisatawan, baik lokal maupun asing. Dari sejumlah data menunjukkan jumlah penduduk pada tahun 2006 mencapai 2.860.157 orang atau meningkat sebesar 37% dibandingkan dengan tahun 2005 yang berjumlah 807.115 orang. Sedangkan wisatawan asing pada tahun 2005 berjumlah 49.876 orang dan untuk tahun 2006 berjumlah 50.157 orang. Dengan demikian mengalami peningkatan sebesar 0.6 persen. (Pemda Bogor 2010).
Kawasan Puncak yang berada di dataran tinggi Jawa Barat memiliki keragaman sumberdaya alam yang bernilai ekonomis sebagai kawasan wisata alam. Secara administratif wilayah Puncak merupakan bagian dari Kabupaten Bogor yang difungsikan sebagai kawasan konservasi untuk menjaga dan mempertahankan lahan hijau sebagai kawasan resapan air. Letak geografisnya yang berada di ketinggian 330 meter di atas permukaan laut memberi predikat penting sebagai penjaga stabilitas laju air yang mengalir dari hulu ke hilir yang bermuara di kawasan kota Jakarta yang posisinya lebih rendah dari kota Bogor.
Perilaku pengembangan investasi berupa rumah singgah (villa) di kawasan Puncak sangat Antroposentris. Artinya, kepentingan ekonomi didahulukan untuk kebutuhan manusia sementara nilai dan etika lingkungan diabaikan. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab perubahan besar yang mampu menggeser suatu tatanan ekosistem serta fungsi alaminya. Akibatnya, berujung pada dampak-dampak negatif seperti bencana banjir dan kerusakan ekologi.
Pengertian Lahan
Lahan memiliki pengertian yang hampir serupa dengan sebelumnya bahwa lahan adalah suatu daerah di permukaan bumi dengan sifat-sifat tertentu yang meliputi biosfer, atmosfer, tanah, lapisan geologi, hidrologi, populasi tanaman, dan hewan serta hasil kegiatan manusia masa lalu dan sekarang, sampai pada tingkat tertentu dengan sifat-sifat tersebut mempunyai pengaruh yang berarti terhadap fungsi lahan oleh manusia pada masa sekarang dan masa yang akan datang (Sitorus 2004).
Jayadinata (1999) menggolongkan lahan dalam tiga kategori, yaitu (1) Nilai keuntungan, dihubungkan dengan tujuan ekonomi dan yang dapat dicapai dengan jual beli lahan di pasaran bebas. (2) Nilai kepentingan umum, yang dihubungkan dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat. (3) Nilai sosial, yang merupakan hal mendasar bagi kehidupan yang dinyatakan oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi, kepercayaan, dan sebagainya.
Aturan-aturan dalam penggunaan lahan dijalankan berdasarkan pada beberapa kategori antara lain kepuasan, kecenderungan dalam tata guna lahan, kesadaran akan tata guna lahan, kebutuhan orientasi dan pemanfaatan atau pengaturan estetika (Munir 2008). Penggunaan lahan itu sendiri dibagi ke dalam dua kelompok utama, yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non pertanian.
Penggunaan lahan pertanian dibedakan secara garis besar ke dalam macam penggunaan lahan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditi yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat di atas lahan tersebut, seperti penggunaan lahan tegalan, sawah, kebun kopi, kebun karet, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung, padang alang-alang dan lain sebagainya. Sedangkan penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan atas penggunaan kota dan desa (permukiman), industri, rekreasi, dan pertambangan (Arsyad 1989).
Namun, dalam rangka memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia yang terus berkembang dan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi, pengelolaan sumberdaya lahan seringkali kurang bijaksana dan tidak mempertimbangkan aspek keberlanjutannya (untuk jangka pendek) sehingga kelestariannya semakin terancam.. Sebagai contoh yaitu berubahnya peruntukan fungsi lahan persawahan beririgasi menjadi lahan industri, dan fungsi hutan lindung menjadi lahan pemukiman. Contoh di atas adalah bentuk konversi lahan.
Perubahan penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan yang lainnya diikuti dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda (Wahyunto et al 2001). Barlowe (1986), berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pola penggunaan lahan adalah (1). faktor-faktor fisik dan biologis; serta (2).
Faktor ekonomi dan institusi (kelembagaan). Faktor fisik dan biologis mencakup keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuhan, hewan, dan kependudukan. Faktor ekonomi dicirikan oleh hukum pertanahan yang berlaku di masyarakat, sosial politik dan ekonomi masyarakat. Sedangkan, menurut Sihaloho (2004) konversi lahan dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor pada aras makro yang meliputi perubahan industri, pertumbuhan pemukiman, pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah, dan kemiskinan ekonomi. Faktor pada aras mikro yang meliputi pola nafkah rumah tangga (struktur ekonomi rumah tangga), kesejahteraan rumah tangga (orientasi nilai ekonomi rumah tangga), dan strategi bertahan hidup rumah tangga.
Berdasarkan fakta di lapangan, ada dua jenis proses konversi lahan sawah, yaitu konversi sawah yang langsung dilakukan oleh petani pemilik lahan dan yang dilakukan oleh bukan petani lewat proses penjualan. Sebagian besar konversi lahan sawah tidak dilakukan secara langsung oleh petani tetapi oleh pihak lain yaitu pembeli. Konversi yang dilakukan langsung oleh petani luasannya sangat kecil.
Hampir 70 persen proses jual beli lahan sawah melibatkan pemerintah, yaitu ijin lokasi dan ijin pembebasan lahan. Masalah mengenai lahan ini dipicu oleh manusia dalam upayanya memenuhi kebutuhannya baik itu sandang, papan dan pangan. Teori Robert Malthus menyatakan bahwa “Pangan bertambah mengikuti deret hitung sedangkan jumlah manusia akan bertambah seiring dengan deret ukur”. Hal ini yang menjadi pemicu bagi manusia untuk memanfaatkan lahan ditambah lagi dengan bertambahnya ilmu seseorang akan memicu orang tersebut untuk berfikir bagaimana dapat memanfaatkan sumber daya alam ini sehingga menghasilkan sesuatu yang bernilai.
Ketersediaan lahan pertanian di Indonesia semakin sempit terutama lahan sawah sehingga upaya peningkatan produksi padi untuk memenuhi kebutuhan pangan semakin bermasalah. Hasil sensus pertanian menunjukkan bahwa penyebab penyempitan lahan sawah di Jawa antara lain konversi lahan sawah menjadi lahan non pertanian terutama untuk pembangunan kawasan permukiman.
Konversi lahan ini, terutama pulau Jawa sebagai gudang pangan nasional, menyebabkan gangguan yang serius dalam pengadaan pangan nasional. Konversi lahan sawah yang tidak terkendali juga akan menyebabkan penurunan kapasitas penyerapan tenaga kerja pertanian dan perdesaan serta hilangnya aset pertanian bernilai tinggi (Irawan et al 2001). Konversi lahan merupakan masalah yang tidak pernah akan habisnya karena semua sumber daya yang tuhan berikan merupakan anugerah yang diberikan agar manusia mampu memanfaatkannya dengan baik, namun pada saat ini manusia terkendala akan lahan yang diketahui jumlah tetap.
Penyebab Konversi Lahan dari Berbagai Aspek
Pengembangan tempat singgah yang biasanya berbentuk villa semakin banyak dibangun di kawasan puncak. Villa-villa tersebut tidak hanya sebagai tempat peristirahatan pribadi tetapi juga dapat dikomersilkan. Persoalannya, gedung-gedung itu didirikan di kawasan hutan lindung dan daerah aliran sungai (DAS). Padahal, kawasan itu merupakan daerah resapan air di kawasan Puncak Bogor. Akibatnya, muncul permasalahan berupa kerusakan lingkungan, seperti fenomena banjir kiriman yang melanda Jakarta beberapa tahun terakhir dan kerusakan ekologi lainnya. Kerusakan tersebut tidak hanya disebabkan oleh tata ruang kota Jakarta yang tidak rapi, tetapi juga dinilai sebagai akibat semakin terkikisnya sumber-sumber resapan air akibat alih fungsi lahan konservasi hutan di kawasan Puncak, Bogor.
Konversi lahan resapan air di kawasan puncak nampaknya sudah menjadi fenomena yang lazim. Bila pada tahun 1980-an di sepanjang jalan menuju puncak terhampar luas berbagai perkebunan, kini di lahan yang sama telah banyak berdiri villa, restoran, atau perumahan. Konversi lahan resapan air di kawasan puncak nampaknya sudah menjadi bagian dari hukum permintaan dan penawaran. Ketersediaan lahan yang terbatas sementara permintaan terhadap lahan terus meningkat menuntut realokasi penggunaan lahan ke arah yang paling menguntungkan.
Berbagai penelitian yang telah dilakukan, secara garis besar faktor penyebab konversi dapat dipilah menjadi dua, yaitu pada tingkat makro dan mikro. Dalam tataran makro, konversi lahan di kawasan puncak disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi sektor non-perkebunan yang pesat, implementasi undang-undang yang lemah, serta gaya hidup. Dalam skala mikro, alasan utama dilakukan konversi lahan adalah karena kebutuhan, lahannya berada dalam kawasan yang menarik, serta harga lahan yang relatif murah. Semua penyebab konversi itu akhirnya bermuara pada motif ekonomi, yaitu penggunaan lahan untuk peruntukan yang baaru dipandang lebih menguntungkan daripada digunakan untuk lahan perkebunan atau resapan air hujan.
Dampak Negatif dari Konversi Lahan
Secara teoritis, alih fungsi lahan dapat menimbulkan kerugian, terutama hilangnya daerah resapan air hujan serta hilangnya lahan produktif hasil perkebunan, disamping tidak menampik adanya manfaat ekonomi. Namun demikian, tidaklah mudah untuk membuat kalkulasi pasti dari manfaat dan kerugian akibat konversi ini, karena cukup banyak manfaat dan kerugian yang sulit diukur.
Dampak negatif konversi lahan di kawasan puncak Bogor adalah hilangnya “peluang” memproduksi hasil perkebunan dilahan perkebunan yang terkonversi, diantaranya hilangnya produksi perkebunan dan nilainya. Selain itu, dampak yang bisa terjadi yaitu erosi tanah, yang tidak hanya berdampak terhadap daerah yang langsung terkena, tetapi juga daerah hilirnya, antara lain berupa pendangkalan dam-dam penyimpan cadangan air dan saluran irigasinya, pendangkalan sungai, dan pengendapan partikel-partikel tanah yang tererosi di daerah cekungan. Dengan demikian bukan saja lahan yang terkena dampak, tetapi juga kondisi sumber daya air menjadi buruk.
Dampak lain yang sering kita rasakan pula ialah banjir, banjir disebabkan oleh berkurangnya daerah serapan air yang dikonversi oleh bangunan sehingga banyak menimbulkan bahaya bagi manusia karena dampak banjir pun mampu melumpuhkan roda perekonomian, hal itu pernah terjadi pada ibukota Jakarta pada tahun 2007. Banjir pun dapat disebabkan oleh tata perencanaan kota dan ruang serta banyak sampah yang menghalangi air sehingga aliran air sungai terhambat dan tidak dapat mengalir ke laut serta sistem drainase yang buruk dapat memicu terjadinya banjir.
Konversi lahan pun memiliki dampak yang buruk terhadap produktivitas lahan karena produktivitas lahan dipengaruhi oleh luas lahan dan produk yang mampu di produksi pada lahan tersebut. Hal ini dikarenakan apabila suatu lahan pertanian telah dikonversi menjadi non pertanian maka lahan tersebut tidak dapat dimanfaatkan kembali sebagai lahan pertanian karena lahan setelah konversi akan menurunkan kesuburan dari lahan tersebut serta mengakibatkan kerusakan atau gangguan fungsi lahan pertanian.
Dampak Positif dari Konversi Lahan
Selain dampak negatif dari konversi lahan, terdapat dampak positif dari konversi lahan tersebut yakni terdapatnya lapangan pekerjaan untuk penduduk sekitar, sehingga para penduduk yang tidak memiliki pendapatan akan mendapatkan penghasilan. Kebutuhan sandang seperti pemukiman untuk penduduk bisa terpenuhi. Selain itu akses informasi publik dari akan lebih cepat diterima setelah adanya pembangunan. Konversi lahan menyebabkan lebih banyaknya investor yang datang dan memberikan dana untuk melakukan pembangunan di wilayah tersebut. Adanya konversi lahan ini akan berakibat wilayah tersebut akan lebih maju karena adanya pembangunan di wilayah tersebut.
Upaya Pengendalian Konversi Lahan Sawah
Berdasarkan fakta, upaya pencegahan konversi lahan sulit dilakukan, karena lahan merupakan private good yang legal untuk ditransaksikan. Oleh karena itu, upaya yang dapat dilakukan hanya bersifat pengendalian. Pengendalian yang dilakukan sebaiknya bertitik tolak dari faktor-faktor penyebab terjadinya konversi lahan sawah, yaitu faktor ekonomi, sosial, dan perangkat hukum. Namun hal tersebut hendaknya didukung oleh keakuratan pemetaan dan pendataan penggunaan lahan yang dilengkapi dengan teknologi yang memadai (Suwarno, 1996).
Pemberian izin mendirikan bangunan (IMB) merupakan salah satu upaya pencegahan konversi lahan, dimaksudkan untuk pembinaan agar orang atau badan yang bermaksud membangun dapat membangun sesuai ketentuan yang berlaku, pengaturan akan tata kelola bangunan, pengendalian agar menghindari laju pembangunan yang terlalu tinggi yang akan berdampak buruk bagi lingkungan serta, pengawasan atas kegiatan mendirikan bangunan oleh orang pribadi maupun institusi.
Demikian penjelasan artikel diatas Konversi Lahan Adalah – Pengertian, Dampak, Alasan & Contohnya semoga dapat bermanfaat untuk pembaca setia Lahan.Co.Id